Rabu, 23 Oktober 2013

Ini Pengakuan PSK Korban Penyekapan di Dolly

Radar Publik
SURABAYA - Polisi menetapkan dua orang sebagai tersangka terkait penyekapan empat perempuan pekerja seks komersial (PSK) di Wisma Permata, kompleks lokalisasi Dolly, Surabaya, Jawa Timur. Radar Publik, Rabu (23/10/2013)

Pemilik wisma, Sugiyanto (44), dan pegawainya, Sukardi (46), dijerat pasal perdagangan manusia atau human trafficking.

Hingga Rabu (23/10/2013) siang, empat korban masih dimintai keterangan di Mapolsek Sawahan. Mereka tampak masih kelelahan setelah disekap sepanjang malam oleh pengelola wisma.

Para PSK tersebut adalah SN, asal Pati, Jawa Tengah, serta tiga perempuan asal Pekalongan, yakni It, Nr, dan Tr.

Seorang korban mengaku terjerumus di lokalisasi tersebut karena dijebak pengelola wisma. Ia ditawari bekerja di sebuah rumah karaoke dengan iming-iming gaji besar. Namun kenyataannya, ia malah diajak ke Wisma Permata untuk dijadikan PSK.

Awalnya ia menolak, namun pengelola wisma yang mengetahui korban membutuhkan uang untuk biaya ibunya yang sakit keras, menawarinya uang pinjaman dalam jumlah besar. Ia akhirnya tak kuasa menolak tawaran pengelola wisma tersebut.

Karena menerima uang pinjaman itulah dia diharuskan bekerja sebagai PSK di wisma tersebut untuk melunasi utangnya. Korban sudah bekerja selama sebulan.

Setiap kencan, ia hanya menerima Rp43 ribu dari tarif kencan yang dipatok, yakni Rp100 ribu. Dalam 15 hari, ia hari bisa melayani lebih dari 100 tamu.

Soal penyekapannya, hal tersebut hanya upaya dari pengelola wisma untuk menghindari petugas. Pasalnya, Pemkot Surabaya melarang seluruh wisma di Dolly dan Jarak menerima PSK baru.

Namun, aksi penyekapan itu pun diketahui polisi setelah dilaporkan seorang pengunjung lokalisasi. Kebetulan, saat itu petugas gabungan kepolisian dan Satpol PP sedang melakukan operasi yustisi.

Kapolsek Sawahan, Kompol Manang Soebekti, mengatakan, usai dimintai keterangan, empat korban akan dipulangkan ke kampung halaman masing-masing dengan bantuan dari sebuah LSM Pemberdayaan perempuan. (Fatoni, Sugeng TRI M)

Pemimpin Radar Publik Usul Artis Terlibat Narkoba, Dilarang Tampil di Media Massa

Radar Publik
Jakarta - Artis terlibat narkoba harus dikenai sanksi moral agar tidak menjadi teladan bagi warga yang mengidolakan mereka. Pemimpin Radar Publik (Gus Nyoto NH) mengusulkan sanksinya berupa tidak tampil di media massa.

"Harus ada sanksi seperti itu kepada mereka, apalagi sebagai public figure yang kerap menjadi idola publik, jangan sampai publik ikut terpengaruh dengan gaya hidup mereka, Radar Publik, Rabu (23/10/2013).

Sanksi diberikan apabila public figure tersebut memiliki bukti kuat, baik dari hasil lab yang menyebut dia positif menyalahgunakan narkotika, atau vonis pengadilan yang menyatakan bersalah.

"Ini semacam skorsing, tergantung beratnya kasus yang mereka lakukan, penyalahguna minimal setahun," kata dia.

Usulan ini rencananya akan mereka tindaklanjuti dengan bertemu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). "Kami berharap ada payung hukum atas usulan ini," ujarnya.

Kabag Humas BNN, Kombes Sumirat Dwiyanto, menyatakan pihaknya menghormati usulan Pemred Radar Publik tersebut. "Supaya ada efek jera," kata Sumirat.

Sependapat dengan Gus Nyoto, guna melaksanakan usulan tersebut setidaknya ada payung hukum yang melandasi tindaklanjut ide itu. Setidaknya dapat memberi pelajaran kepada publik atau rekan seprofesi artis agar tidak terjerumus narkoba.

"Apabila nanti harus tidak tampil dalam jangka waktu tertentu, harus ada payung hukumnya. Karena BNN bekerja atas dasar aturan yang ada," papar Sumirat.

Terkait kasus Raffi Ahmad yang belum kunjung masuk persidangan, dia mengatakan BNN masih merampungkan petunjuk yang diminta kejaksaan. Dia menegaskan BNN tidak akan menghentikan kasus (SP3) ini.

"Kita masih berkoordinasi dengan Kejagung untuk melengkapi bukti dan petunjuk," tegas Sumirat. (Red)

Box Redaksi Radar Publik

Box Redaksi PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA PERIZINAN BERUSAHA BERBASIS RISIKO SERTIFIKAT STANDAR : 11052300936180004 Nama Pelaku Usaha       ...