Catatan Sejarah Pertambangan di Banyuwangi:
1. Sebelum ditetapkannya kawasan Tumpang Pitu, Banyuwangi, sebagai objek vital nasional sesuai dengan SK Menteri KESDM No. 631 k/30/MEM/2016, tertanda tangan pada 16 Februari 2016, perampokan dan penjarahan Sumber Daya Alam di Banyuwangi sebenarnya telah dimulai dari sejak tahun 1990-an. Hal ini ditandai dengan masuknya PT Hakman Metalindo ke kawasan Taman Nasional Meru Betiri pada tahun 1995-1996.
2. PT Hakman Metalindo mendapatkan ijin Kuasa Pertambangan dari ESDM di Kabupaten Jember dan Banyuwangi dengan luas eksplorasi 62.586 ha. Dalam kegiatan eksplorasinya PT Hakman Metalindo bekerja sama dengan Golden Valley Mines N.L, sebuah perusahaan asal Asutralia. Dalam catatan JATAM 2012, disebutkan bahwa PT Hakman Metalindo telah menyebabkan kawasan jati di daerah tersebut kering kerontang.
3. Pada tahun 2000, PT Hakman Group mengajukan Kontrak Karya Pertambangan kepada Pemda Jember dan Banyuwangi. Selanjutnya, PT Jember Metal dan PT Banyuwangi Mineral juga mengajukan ijin prinsip Kontrak Karya untuk membuka pertambangan di daerah yang sama. Direktur 2 perusahaan tersebut adalah orang yang sama seperti tercantum pada surat PT. Hakman Metalindo, yakni: Jansen FP Ade dan Yusur Merukh. Yusuf Merukh adalah konglomerat pemilik saham 20 % Newmont Minahasa Raya dan Newmont Nusa Tenggara (Jatam, 2012).
4. Berdasarkan surat No.01.17/BM/ VII/2000, tanggal 17 Juli 2000, PT Banyuwangi Mineral mengajukan permohonan ijin prinsip Kontrak Karya Pertambangan untuk kawasan seluas 150.000 ha di daerah Banyuwangi. Sedangkan di Jember, dengan surat No. 01.13/JM/VII/ 2000, tanggal 11 Juli 2000, Direktur PT. Jember Mineral mengajukan permohonan ijin serupa dengan luas 197.500 ha (Jatam, 2012).
5. Eksplorasi oleh PT Hakman Group berakhir pasca terbitnya surat Bupati Banyuwangi, Nomor 545/513/ 429.022/2006 tanggal 20 Maret 2006. Selanjutnya, lewat surat Keputusan Bupati nomor 188/57/KP/ 429.012/2006 penguasaan pertambangan diberikan kepada PT Indo Multi Cipta (IMC).
6. Perusahaan ini berganti nama menjadi Indo Multi Niaga (IMN) dan lewat surat nomor 188/05/KP/ 429.012/2007, IMN mengantongi ijin Kuasa Pertambangan Eksplorasi seluas 11.621,45 Ha.
7. Pada tahun 2012, PT. IMN mengalihkan Ijin Usaha Pertambangannya kepada PT. Bumi Suksesindo (BSI), anak perusahaan PT. Merdeka Copper Gold, Tbk.
8. PT. Merdeka Copper Gold, Tbk, memiliki anak perusahaan, yaitu PT. Bumi Suksesindo (BSI), PT. Damai Suksesindo (DSI), dan PT Cinta Bumi Suksesindo (CBS). BSI dan DSI memiliki Izin Usaha Pertambangan (“IUP”) sedangkan CBS belum memiliki IUP. BSI memiliki Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (“IUP OP”) berdasarkan Keputusan Bupati Banyuwangi No. 188/547/KEP/ 429.011/2012 tanggal 9 Juli 2012 sebagaimana terakhir kali diubah dengan Keputusan Bupati Banyuwangi,
No. 188/928/KEP/ 429.011/2012 tertanggal 7 Desember 2012 sedangkan DSI memiliki Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi (“IUP Eksplorasi”) berdasarkan Keputusan Bupati Banyuwangi No. 188/930/KEP/ 429.011/2012 tanggal 10 Desember 2012 sebagaimana terakhir kali diubah dengan Keputusan Bupati Banyuwangi No. 188/109/KEP/ 429.011/2014 tanggal 20 Januari 2014.
9. Lokasi IUP BSI dan DSI terletak di Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Propinsi Jawa Timur, dengan IUP OP BSI seluas 4.998 ha dan dengan IUP Eksplorasi DSI seluas 6.623 ha. IUP OP milik BSI akan berlaku sampai dengan 25 Januari 2030 dan IUP Eksplorasi milik DSI berlaku sampai dengan 25 Januari 2016. Sebelum bernama PT Merdeka Copper Gold, Tbk, perusahaan ini bernama PT Merdeka Serasi Jaya. Akta Pendirian No.2, 5 September 2012, dengan pengesahan dari Menkumham, Nomor, berdasarkan Surat Keputusan No. AHU-48205.AH.01 .01.Tahun 2012 tanggal 11 September 2012 dan terdaftar di dalam daftar Perseroan Menkumham dibawah No. AHU-0081346.AH. 01.09. Tahun 2012 tanggal 11 September 2012, serta telah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia No. 47 tanggal 11 Juni 2013 (Prospektus Final PT Merdeka Copper Gold, Tbk).
10. Dalam dokumen Prospektus PT Merdeka Copper Gold, Tbk, disebutkan bahwa susunan direksi dan dewan komisaris, berdasarkan akta No.479/2014 dan akta No.73/ 2015, adalah: Direksi (Presdir: Adi Adriansyah Sjoekrie, Wa.Presdir: Gavin Caudle, Dir. Independen: Chrisanthus Soepriyo, Dir: Hardi Wijaya Liong, Michael W Soeryadjaya, Ronny N Hendropriyono). Dewan Komisaris (Preskom: A.M. Hendropriyono, Wapreskom: Edwin Soeryadjaya, Komisaris Independen: Richard Bruce Ness, Zannuba Arifah (Yenny Wahid), Komisaris: Garibaldi Thohir).
Catatan Awal Walhi Jatim Terkait Kegiatan Pertambangan di Tumpang Pitu:
1. Bagi nelayan dusun Pancer, Desa Sumberagung, keberadaan Bukit Tumpang Pitu memiliki setidaknya dua peran penting. Pertama, Bukit Tumpang Pitu adalah 'tetenger' bagi mereka saat melaut. Setiap pagi, ketika mereka berada di laut lepas, titik yang mereka cari untuk menentukan arah adalah pulau Nusa Barong di sebelah Barat, Gunung Agung di sebelah Timur dan Bukit Tumpang pitu ditengah-tengah nya. Dari situlah mereka bisa mengarahkan haluan, menuju Puger, Rajegwesi, Pancer ataupun Muncar. Jika bukit Tumpang Pitu menghilang maka mereka akan kehilangan salah satu tetenger daratan yang menjadi acuan arah.
2. Kedua, bukit Tumpang Pitu adalah benteng bagi komunitas Nelayan yang tinggal di pesisir teluk Pancer. Pada musim-musim tertentu, saat angin Tenggara yang kencang bertiup, bukit Tumpang Pitu melindungi perkampungan ini dari ancaman bencana yang dibawa tiupan angin kencang tersebut. Saat ini, ketika bukit Tumpang Pitu belum disikat habis oleh pertambangan, beberapa atap rumah warga telah mengalami kerusakan ketika datang angin tenggara. Hal ini bisa dibayangkan betapa besarnya kerusakan yang harus mereka hadapi tatkala benteng alami ini dibongkar oleh aktivitas tambang. Terkait dengan ancaman pertambangan ini, memori tsunami yang menyapu dusun Pancer tahun 1994 pun kembali mengemuka dan melintas di benak warga. Nelayan dusun Pancer mengingat dengan jelas bagaimana gelombang besar tsunami menyapu kawasan pesisir Pancer dan sekitarnya yang membawa korban jiwa lebih dari 200 orang.
Saat itu, bukit Tumpang Pitu mampu melindungi kehancuran lebih berat terjadi di dusun Pancer, Desa Sumberagung dan sekitarnya yang berada dibalik bukit ini. Sekali lagi bisa dibayangkan jika bukit Tumpang Pitu hilang dan tsunami datang kembali, maka korban yang ditimbulkan akan dalam jumlah yang cukup banyak dari peristiwa tahun 1994.
3. Bagi nelayan dusun Pancer, laut telah memberikan kesejahteraan lebih dari cukup. Hal ini terbukti sebelum masuknya kegiatan pertambangan di Tumpang Pitu, hasil tangkapan ikan per harinya dari 1000 nelayan yang bermukim di Pancer mampu menembus angka 150 ton perhari. Jumlah tangkapan ini setara dengan 1,2 miliar rupiah perhari.
4. Bagi pegiat wisata (rakyat) pantai Pulau Merah, Dusun Pancer, kegiatan pertambangan di Tumpang Pitu juga dianggap telah membawa dampak negatif. Bagi mereka, kegiatan pertambangan Tumpang Pitu telah menghasilkan bencana ekologi di sekitar pantai Pulau Merah yang sulit untuk dipulihkan. Dalam sejarah kolektif warga yang bermukim di pantai Pulau Merah, tidak pernah terjadi sebelumnya bencana lumpur yang menutup pantai Pulau Merah hingga 4 km dari bibir pantai. Namun dengan hadirnya kegiatan pertambangan, bencana lumpur itupun datang, dan ini untuk pertama kalinya. Bencana lumpur tersebut selain merusak karang, juga berdampak pada menurunnya angka pengunjung pantai Pulau Merah hingga 70 persen.
5. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Jawa Timur telah menggarisbawahi kawasan selatan Jawa, termasuk Jawa Timur adalah kawasan rawan bencana tsunami. Dengan mengacu pada kenyataan ini, penataan kawasan di pesisir selatan seharusnya ditujukan untuk meminimalisasi dampak kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh bencana. Pesisir selatan Jawa selayaknya ditetapkan menjadi kawasan lindung dan konservasi demi mengantisipasi bencana yang mungkin timbul. Pelepasan lahan-lahan pesisir menjadi wilayah usaha pertambangan yang berpotensi merusak keseimbangan ekosistem kawasan adalah tindakan yang kontradiktif terhadap usaha menurunkan resiko bencana di Indonesia.
6. Disamping itu, kawasan pesisir selatan telah lama menjadi kawasan budidaya, baik pertanian pesisir maupun perikanan tangkap, sehingga aktivitas pertambangan yang eksploitatif, rakus lahan dan merusak sumber daya perairan akan menimbulkan gesekan dengan kebutuhan warga akan keberlanjutan fungsi-fungsi alam sebagai syarat budidaya mereka.
7. Pembiaran terhadap konflik-konflik pertambangan dan bahkan pelanggaran perijinan terhadap wilayah yang mempunyai nilai penting secara ekologis tidak bisa terus dibiarkan. Kita tengah menghadapi konsekuensi dari semakin banyaknya wilayah-wilayah lindung yang rusak dengan bentuk peningkatan jumlah bencana ekologis setiap tahunnya di Jawa Timur. Oleh sebab itu pencabutan wilayah usaha pertambangan dari kawasan pesisir selatan dan penetapan kawasan lindung dan konservasi menjadi syarat mutlak pemulihan kawasan pesisir dan menjadi bagian dari usaha besar penurunan resiko bencana ekologis serta penyelamatan ruang hidup rakyat.
Hentikan Pertambangan di Tumpang Pitu!!! (Saful/Tim)
1. Sebelum ditetapkannya kawasan Tumpang Pitu, Banyuwangi, sebagai objek vital nasional sesuai dengan SK Menteri KESDM No. 631 k/30/MEM/2016, tertanda tangan pada 16 Februari 2016, perampokan dan penjarahan Sumber Daya Alam di Banyuwangi sebenarnya telah dimulai dari sejak tahun 1990-an. Hal ini ditandai dengan masuknya PT Hakman Metalindo ke kawasan Taman Nasional Meru Betiri pada tahun 1995-1996.
2. PT Hakman Metalindo mendapatkan ijin Kuasa Pertambangan dari ESDM di Kabupaten Jember dan Banyuwangi dengan luas eksplorasi 62.586 ha. Dalam kegiatan eksplorasinya PT Hakman Metalindo bekerja sama dengan Golden Valley Mines N.L, sebuah perusahaan asal Asutralia. Dalam catatan JATAM 2012, disebutkan bahwa PT Hakman Metalindo telah menyebabkan kawasan jati di daerah tersebut kering kerontang.
3. Pada tahun 2000, PT Hakman Group mengajukan Kontrak Karya Pertambangan kepada Pemda Jember dan Banyuwangi. Selanjutnya, PT Jember Metal dan PT Banyuwangi Mineral juga mengajukan ijin prinsip Kontrak Karya untuk membuka pertambangan di daerah yang sama. Direktur 2 perusahaan tersebut adalah orang yang sama seperti tercantum pada surat PT. Hakman Metalindo, yakni: Jansen FP Ade dan Yusur Merukh. Yusuf Merukh adalah konglomerat pemilik saham 20 % Newmont Minahasa Raya dan Newmont Nusa Tenggara (Jatam, 2012).
4. Berdasarkan surat No.01.17/BM/
5. Eksplorasi oleh PT Hakman Group berakhir pasca terbitnya surat Bupati Banyuwangi, Nomor 545/513/
6. Perusahaan ini berganti nama menjadi Indo Multi Niaga (IMN) dan lewat surat nomor 188/05/KP/
7. Pada tahun 2012, PT. IMN mengalihkan Ijin Usaha Pertambangannya
8. PT. Merdeka Copper Gold, Tbk, memiliki anak perusahaan, yaitu PT. Bumi Suksesindo (BSI), PT. Damai Suksesindo (DSI), dan PT Cinta Bumi Suksesindo (CBS). BSI dan DSI memiliki Izin Usaha Pertambangan (“IUP”) sedangkan CBS belum memiliki IUP. BSI memiliki Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (“IUP OP”) berdasarkan Keputusan Bupati Banyuwangi No. 188/547/KEP/
No. 188/928/KEP/
9. Lokasi IUP BSI dan DSI terletak di Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Propinsi Jawa Timur, dengan IUP OP BSI seluas 4.998 ha dan dengan IUP Eksplorasi DSI seluas 6.623 ha. IUP OP milik BSI akan berlaku sampai dengan 25 Januari 2030 dan IUP Eksplorasi milik DSI berlaku sampai dengan 25 Januari 2016. Sebelum bernama PT Merdeka Copper Gold, Tbk, perusahaan ini bernama PT Merdeka Serasi Jaya. Akta Pendirian No.2, 5 September 2012, dengan pengesahan dari Menkumham, Nomor, berdasarkan Surat Keputusan No. AHU-48205.AH.01
10. Dalam dokumen Prospektus PT Merdeka Copper Gold, Tbk, disebutkan bahwa susunan direksi dan dewan komisaris, berdasarkan akta No.479/2014 dan akta No.73/
Catatan Awal Walhi Jatim Terkait Kegiatan Pertambangan di Tumpang Pitu:
1. Bagi nelayan dusun Pancer, Desa Sumberagung, keberadaan Bukit Tumpang Pitu memiliki setidaknya dua peran penting. Pertama, Bukit Tumpang Pitu adalah 'tetenger' bagi mereka saat melaut. Setiap pagi, ketika mereka berada di laut lepas, titik yang mereka cari untuk menentukan arah adalah pulau Nusa Barong di sebelah Barat, Gunung Agung di sebelah Timur dan Bukit Tumpang pitu ditengah-tengah
2. Kedua, bukit Tumpang Pitu adalah benteng bagi komunitas Nelayan yang tinggal di pesisir teluk Pancer. Pada musim-musim tertentu, saat angin Tenggara yang kencang bertiup, bukit Tumpang Pitu melindungi perkampungan ini dari ancaman bencana yang dibawa tiupan angin kencang tersebut. Saat ini, ketika bukit Tumpang Pitu belum disikat habis oleh pertambangan, beberapa atap rumah warga telah mengalami kerusakan ketika datang angin tenggara. Hal ini bisa dibayangkan betapa besarnya kerusakan yang harus mereka hadapi tatkala benteng alami ini dibongkar oleh aktivitas tambang. Terkait dengan ancaman pertambangan ini, memori tsunami yang menyapu dusun Pancer tahun 1994 pun kembali mengemuka dan melintas di benak warga. Nelayan dusun Pancer mengingat dengan jelas bagaimana gelombang besar tsunami menyapu kawasan pesisir Pancer dan sekitarnya yang membawa korban jiwa lebih dari 200 orang.
Saat itu, bukit Tumpang Pitu mampu melindungi kehancuran lebih berat terjadi di dusun Pancer, Desa Sumberagung dan sekitarnya yang berada dibalik bukit ini. Sekali lagi bisa dibayangkan jika bukit Tumpang Pitu hilang dan tsunami datang kembali, maka korban yang ditimbulkan akan dalam jumlah yang cukup banyak dari peristiwa tahun 1994.
3. Bagi nelayan dusun Pancer, laut telah memberikan kesejahteraan lebih dari cukup. Hal ini terbukti sebelum masuknya kegiatan pertambangan di Tumpang Pitu, hasil tangkapan ikan per harinya dari 1000 nelayan yang bermukim di Pancer mampu menembus angka 150 ton perhari. Jumlah tangkapan ini setara dengan 1,2 miliar rupiah perhari.
4. Bagi pegiat wisata (rakyat) pantai Pulau Merah, Dusun Pancer, kegiatan pertambangan di Tumpang Pitu juga dianggap telah membawa dampak negatif. Bagi mereka, kegiatan pertambangan Tumpang Pitu telah menghasilkan bencana ekologi di sekitar pantai Pulau Merah yang sulit untuk dipulihkan. Dalam sejarah kolektif warga yang bermukim di pantai Pulau Merah, tidak pernah terjadi sebelumnya bencana lumpur yang menutup pantai Pulau Merah hingga 4 km dari bibir pantai. Namun dengan hadirnya kegiatan pertambangan, bencana lumpur itupun datang, dan ini untuk pertama kalinya. Bencana lumpur tersebut selain merusak karang, juga berdampak pada menurunnya angka pengunjung pantai Pulau Merah hingga 70 persen.
5. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Jawa Timur telah menggarisbawahi
6. Disamping itu, kawasan pesisir selatan telah lama menjadi kawasan budidaya, baik pertanian pesisir maupun perikanan tangkap, sehingga aktivitas pertambangan yang eksploitatif, rakus lahan dan merusak sumber daya perairan akan menimbulkan gesekan dengan kebutuhan warga akan keberlanjutan fungsi-fungsi alam sebagai syarat budidaya mereka.
7. Pembiaran terhadap konflik-konflik
Hentikan Pertambangan di Tumpang Pitu!!! (Saful/Tim)