Radar Publik
Dikutip dari, beritajatim.com
JATIM - Salah satu pekerjaan rumah (PR) paling berat di Jatim selain menurunkan angka kemiskinan adalah mengurangi disparitas perkembangan antarwilayah atau antarkabupaten/kota. Kota Surabaya, Kabupaten Gresik, Kabupaten Sidoarjo, dan Kabupaten/Kota Malang tetap menjadi pusat pertumbuhan ekonomi Jatim.
Karena itu, kalau kita melihat Kota Surabaya, Gresik, Sidoarjo, dan Malang terus berkembang pesat, tapi ada sejumlah kabupaten/kota lainnya di Jatim terlihat stagnan. Misalnya, kabupaten/kota di kawasan Pulau Madura, daerah di kawasan Mataraman, dan lainnya.
Disparitas antarwilayah di Jatim menjadi tolok ukur penting keberhasilan kepemimpinan Pakde Karwo-Gus Ipul selama 7 tahun memimpin Jatim. Data 2014 menunjukkan, capaian indikator kinerja utama indeks disparitas wilayah Jatim mencapai sebesar 112,69 poin atau mengalami penurunan 0,02 poin dibandingkan dengan capaian pada 2013 dengan 112,71 poin.
Capaian tahun 2014 ini bila dibandingkan dengan target yang tercantum dalam RPJMD 2009-2014 sebesar 113,50 poin-113,80 poin, maka telah tercapai target yang telah ditetapkan.
Dalam perspektif indeks gini rasio tahun 2014 sebesar 0,40, lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2013 dengan 0,36. Data BPS Jatim menunjukkan, posisi kesenjangan antarwilayah di Jatim masih masuk kategori sedang, yakni antara 0,30-0,50.
"Untuk mengatasi ini sejumlah program telah dijalankan Pemprov Jatim, seperti di bidang pendidikan dengan program aksi BOS, bidang kesehatan dengan pemberian jaminan kesehatan, dan bidang pemberdayaan masyarakat dengan cara pembinaan keterampilan," kata Gubernur Jatim, Pakde Karwo.
Faktor topografis, geografis, sosiologis, kultural, dan historis juga turut berpengaruh pada perkembangan satu wilayah kabupaten/kota. Kota Surabaya misalnya, memiliki sejarah panjang sebagai pusat perdagangan sejak di era Kerajaan Islam Nusantara, penjajahan Belanda, hingga era kemerdekaan.
Pun demikian dengan Kabupaten Gresik yang menjadi titik pijak awal pendirian industri manufaktur skala besar di Jatim dan Indonesia secara keseluruhan. Pada 1957, Presiden Indonesia, Soekarno meresmikan mulai beroperasi pabrik PT Semen Gresik (Persero) di Kecamatan Kebomas, Gresik.
Pada awal tahun 1970-an, di Gresik juga dibangun pabrik pupuk berskala nasional PT Petrokimia Gresik. Pembangunan pabrik pupuk ini sebagai break down dari policy dasar rezim Orde Baru yang concern pada sektor pertanian untuk pemenuhan kebutuhan pangan rakyat secara nasional.
Selain itu, wilayah Jatim di kawasan Pantai Utara (Pantura) juga relatif lebih cepat maju dan berkembang dibanding di kawasan pedalaman (Mataraman), yang lebih banyak bergerak di sektor pertanian dalam perspektif luas. Tahun 1990-an industrialisasi mulai kawasan Kabupaten Tuban dan Lamongan. Pada tahun 2000-an, industrialisasi migas berkembang pesat di wilayah Tuban dan Bojonegoro, dengan Blok Cepu dengan iconnya yang mampu menghasilkan minyak mentah 165 ribu barel/hari dan menjadi backbone lifting minyak nasional.
Strategi lain yang ditempuh Pemprov Jatim mengurangi disparitas perkembangan antarwilayah di Jatim, khususnya wilayah utara dengan kawasan selatan Jatim, adalah dengan pembangunan jalur lintas selatan (JLS) Jatim. Badan jalan ini membentang dari Kabupaten Pacitan hingga Kabupaten Banyuwangi. Panjangnya lebih dari 650 kilometer (KM).
JLS merupakan middle way dan strategi jitu membedah kawasan selatan Jatim yang belum banyak tersentuh pembangunan, khususnya pembangunan ekonomi non-pertanian. Di kawasan selatan juga telah dibangun pembangkit tenaga listrik di Kecamatan Sudimoro, Kabupaten Pacitan, yang terintegrasi dengan sistem transmisi jaringan tegangan tinggi Jawa-Bali.
Indikator penting lain untuk mengukur kepemimpinan politik kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah kualitas indeks pembangunan manusia (IPM). Pada 2014, tingkat IPM Jatim sebesar 73,98 dan di 2013 dengan 73,54. Kurun waktu setahun antara 2013 ke 2014 tak terjadi lonjakan peningkatan yang cukup berarti terkait IPM.
Tapi, bila dibandingkan realisasi capaian IPM 2014 sebesar 73,98 dengan target di RPJMD 2009-2014 yang dipatok 70,50-71,00, maka capaian di 2014 jauh lebih tinggi dibanding target yang ditetapkan di RPJMD.
Khusus untuk bidang pendidikan, data yang ada menyebutkan, persentase warga melek huruf pada usia 15-24 tahun mencapai 99,36% pada 2013. Pada 2014 meningkat menjadi 99,69%. Capaian ini didasarkan pada realitas di lapangan bahwa warga Jatim makin tinggi kesadarannya akan dunia pendidikan. Di samping itu, pendidikan formal, nonformal, dan informal dijalankan secara konsisten. (Red)
Dikutip dari, beritajatim.com
JATIM - Salah satu pekerjaan rumah (PR) paling berat di Jatim selain menurunkan angka kemiskinan adalah mengurangi disparitas perkembangan antarwilayah atau antarkabupaten/kota. Kota Surabaya, Kabupaten Gresik, Kabupaten Sidoarjo, dan Kabupaten/Kota Malang tetap menjadi pusat pertumbuhan ekonomi Jatim.
Karena itu, kalau kita melihat Kota Surabaya, Gresik, Sidoarjo, dan Malang terus berkembang pesat, tapi ada sejumlah kabupaten/kota lainnya di Jatim terlihat stagnan. Misalnya, kabupaten/kota di kawasan Pulau Madura, daerah di kawasan Mataraman, dan lainnya.
Disparitas antarwilayah di Jatim menjadi tolok ukur penting keberhasilan kepemimpinan Pakde Karwo-Gus Ipul selama 7 tahun memimpin Jatim. Data 2014 menunjukkan, capaian indikator kinerja utama indeks disparitas wilayah Jatim mencapai sebesar 112,69 poin atau mengalami penurunan 0,02 poin dibandingkan dengan capaian pada 2013 dengan 112,71 poin.
Capaian tahun 2014 ini bila dibandingkan dengan target yang tercantum dalam RPJMD 2009-2014 sebesar 113,50 poin-113,80 poin, maka telah tercapai target yang telah ditetapkan.
Dalam perspektif indeks gini rasio tahun 2014 sebesar 0,40, lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2013 dengan 0,36. Data BPS Jatim menunjukkan, posisi kesenjangan antarwilayah di Jatim masih masuk kategori sedang, yakni antara 0,30-0,50.
"Untuk mengatasi ini sejumlah program telah dijalankan Pemprov Jatim, seperti di bidang pendidikan dengan program aksi BOS, bidang kesehatan dengan pemberian jaminan kesehatan, dan bidang pemberdayaan masyarakat dengan cara pembinaan keterampilan," kata Gubernur Jatim, Pakde Karwo.
Faktor topografis, geografis, sosiologis, kultural, dan historis juga turut berpengaruh pada perkembangan satu wilayah kabupaten/kota. Kota Surabaya misalnya, memiliki sejarah panjang sebagai pusat perdagangan sejak di era Kerajaan Islam Nusantara, penjajahan Belanda, hingga era kemerdekaan.
Pun demikian dengan Kabupaten Gresik yang menjadi titik pijak awal pendirian industri manufaktur skala besar di Jatim dan Indonesia secara keseluruhan. Pada 1957, Presiden Indonesia, Soekarno meresmikan mulai beroperasi pabrik PT Semen Gresik (Persero) di Kecamatan Kebomas, Gresik.
Pada awal tahun 1970-an, di Gresik juga dibangun pabrik pupuk berskala nasional PT Petrokimia Gresik. Pembangunan pabrik pupuk ini sebagai break down dari policy dasar rezim Orde Baru yang concern pada sektor pertanian untuk pemenuhan kebutuhan pangan rakyat secara nasional.
Selain itu, wilayah Jatim di kawasan Pantai Utara (Pantura) juga relatif lebih cepat maju dan berkembang dibanding di kawasan pedalaman (Mataraman), yang lebih banyak bergerak di sektor pertanian dalam perspektif luas. Tahun 1990-an industrialisasi mulai kawasan Kabupaten Tuban dan Lamongan. Pada tahun 2000-an, industrialisasi migas berkembang pesat di wilayah Tuban dan Bojonegoro, dengan Blok Cepu dengan iconnya yang mampu menghasilkan minyak mentah 165 ribu barel/hari dan menjadi backbone lifting minyak nasional.
Strategi lain yang ditempuh Pemprov Jatim mengurangi disparitas perkembangan antarwilayah di Jatim, khususnya wilayah utara dengan kawasan selatan Jatim, adalah dengan pembangunan jalur lintas selatan (JLS) Jatim. Badan jalan ini membentang dari Kabupaten Pacitan hingga Kabupaten Banyuwangi. Panjangnya lebih dari 650 kilometer (KM).
JLS merupakan middle way dan strategi jitu membedah kawasan selatan Jatim yang belum banyak tersentuh pembangunan, khususnya pembangunan ekonomi non-pertanian. Di kawasan selatan juga telah dibangun pembangkit tenaga listrik di Kecamatan Sudimoro, Kabupaten Pacitan, yang terintegrasi dengan sistem transmisi jaringan tegangan tinggi Jawa-Bali.
Indikator penting lain untuk mengukur kepemimpinan politik kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah kualitas indeks pembangunan manusia (IPM). Pada 2014, tingkat IPM Jatim sebesar 73,98 dan di 2013 dengan 73,54. Kurun waktu setahun antara 2013 ke 2014 tak terjadi lonjakan peningkatan yang cukup berarti terkait IPM.
Tapi, bila dibandingkan realisasi capaian IPM 2014 sebesar 73,98 dengan target di RPJMD 2009-2014 yang dipatok 70,50-71,00, maka capaian di 2014 jauh lebih tinggi dibanding target yang ditetapkan di RPJMD.
Khusus untuk bidang pendidikan, data yang ada menyebutkan, persentase warga melek huruf pada usia 15-24 tahun mencapai 99,36% pada 2013. Pada 2014 meningkat menjadi 99,69%. Capaian ini didasarkan pada realitas di lapangan bahwa warga Jatim makin tinggi kesadarannya akan dunia pendidikan. Di samping itu, pendidikan formal, nonformal, dan informal dijalankan secara konsisten. (Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar