Padahal jelas Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No 2 tahun 2008 tentang Buku, pasal (11) melarang sekolah menjadi distributor atau pengecer buku kepada peserta didik. Pada Undang-Undang No.3 Tahun 2017 juga mengatur Sistem Perbukuan, tata kelola perbukuan yang dapat dipertanggung jawabkan secara menyeluruh dan terpadu, yang mencakup pemerolehan naskah, penerbitan, pencetakan, pengembangan buku elektronik, pendistribusian, penggunaan, penyediaan, dan pengawasan buku.
Buku pegangan siswa dari sekolah diberikan secara gratis, karena disubsidi pemerintah melalui Dana Bantuan Operasional (BOS) ."Buku yang disubsidi pemerintah tidak boleh dijual kepada siswa. Karena itu hak siswa.
Buku LKS tidak diperjual belikan di sekolah .Siswa berhak membeli LKS ,namun tidak di sekolah. Orangtua siswa beli LKS di toko buku.
Pasal 63 ayat (1) UU Sistem Perbukuan "Penerbit dilarang menjual buku teks pendamping secara langsung ke satuan dan atau program pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah".
Pasal 64 ayat (1) UU Sistem Perbukuan."Penjualan buku teks pendamping dan buku nonteks dilakukan melalui Toko Buku dan atau sarana lain
Buku LKS tidak diperjual belikan di sekolah .Siswa berhak membeli LKS ,namun tidak di sekolah. Orangtua siswa beli LKS di toko buku.
Pasal 63 ayat (1) UU Sistem Perbukuan "Penerbit dilarang menjual buku teks pendamping secara langsung ke satuan dan atau program pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah".
Permendiknas No 2 tahun 2008 tentang Perbukuan. Pasal (1) angka 10 "toko buku termasuk ke dalam distributor eceran buku atau pengecer, yang lengkapnya berbunyi "Distributor eceran buku yang selanjutnya disebut pengecer adalah orang-perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang memperdagangkan buku dengan cara membeli dari penerbit atau distributor dan menjualnya secara eceran kepada konsumen akhir".
Distributor eceran buku yang selanjutnya disebut pengecer adalah orang-perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang memperdagangkan buku dengan cara membeli dari penerbit atau distributor dan menjualnya secara eceran kepada konsumen akhir.
Penjualan buku, dan Lembar Kerja Siswa (LKS) juga marak terjadi setiap tahun, bahkan setiap berganti semester. Walau dikatakan tidak wajib, namun para murid mau tidak mau harus membeli karena banyak tugas yang diberikan lewat LKS tersebut.
Masih ada Sekolah yang melakukan penjualan buku LKS melalui Koperasi. Ragam dalih pun bermacam-macam, salah satunya untuk menunjang kegiatan belajar mengajar, sebagai pendamping, atau referensi pengetahuan bagi anak didik. Hal ini terkadang menjadi pembenaran, tanpa mengindahkan peraturan yang sudah jelas melarangnya.
Menyoal adanya praktik jual beli LKS. Larangan tersebut diatur tegas di pasal 181a Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, yang menyatakan pendidik dan tenaga kependidikan, baik perorangan maupun kolektif, dilarang menjual buku pelajaran, Lks, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, seragam sekolah, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan.
Berdasarkan pasal itu sudah jelas. Guru, maupun karyawan di sekolah sama sekali tidak boleh menjual buku-buku maupun seragam di sekolah.
Komite Sekolah pun dilarang menjual buku maupun seragam sekolah. Sebagaimana diatur dalam Pasal 12a, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 75 Tahun 2020 Tentang Komite Sekolah.
Di pasal itu tertulis, Komite Sekolah, baik perorangan maupun kolektif dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di sekolah.
Jual beli seragam, buku pelajaran dan LKS yang dilakukan pihak sekolah merupakan mal administrasi, sebuah pelanggaran administrasi, dapat dikategorikan sebagai tindakan Pungutan Liar atau Pungli, yang dapat dikenakan sanksi pidana bagi pelakunya.
Praktik jual beli seragam, buku hingga LKS yang dilakukan sekolah maupun komite sekolah sebagai bagian dari tindakan Pungli. Sebab, hal itu menjadi ranah penegak hukum.
Sedangkan sanksi administrasi yang dimaksud, adalah dengan melakukan mutasi hingga pencopotan dari jabatan guru atau karyawan sekolah. Dan kemenangan ini menjadi tanggung jawab pimpinan sekolah.
Kalau itu sekolah, pimpinan di atasnya berarti Dinas (Pendidikan). Tentu Dinas yang akan memberikan sanksi kepada para kepala sekolah yang melakukan maladministrasi.
Rep. Nyoto