Radar Publik
Agu 11, 2016,
JAKARTA - Karir Raden Said (RS) Soekanto Tjokrodiatmodjo berakhir pada 15 Desember 1959 setelah Presiden Sukarno memutuskan mencopot Kapolri pertama itu.
Dengan demikian karir gemilang Soekanto selama 14 tahun membangun korps Bhayangkara dari nol, seakan sia-sia.
Dalam buku "Jenderal Polisi RS.Soekanto Tjokrodiatmodjo" dijelaskan ihwal pencopotan Soekanto berawal dari usulan sejumlah perwira Polri, yang menghendaki agar ditunjuk Kapolri baru pengganti Soekanto seiring dengan penyempurnaan tubuh Polri yang saat itu baru berumur 14 tahun.
Penyempurnaan tubuh Polri itu terkait dengan dekrit Presiden 5 Juli 1959, di mana Presiden Sukarno mengubah tubuh Polri dari Jawatan Nasional menjadi Departemen atau setingkat menteri. Dalam rangka penyempurnaan itu juga, dibentuk "Tim Sepuluh."
Salah satu rekomendasi 'Tim Sepuluh' adalah agar Kapolri mempertimbangkan nama-nama sejumlah perwira tinggi Polri untuk dijadikan pejabat teras. Namun Soekanto tidak setuju dengan usulan tersebut sebab ia sudah memiliki sejumlah nama yang sama sekali berbeda dengan rekomendasi Tim Sepuluh. Salah satu nama yang direkomendasikan Soekanto adalah Muhammad Jasin, yang kemudian dikenal sebagai bapak Brimob Polri.
Soekanto yang merupakan pemimpin tertinggi di korps Bhayangkara itu, merasa berhak untuk menolak rekomendasi tim sepuluh. Bukannya mundur, tim sepuluh justru mengirimkan surat ke Kapolri pada 23 November 1959, dengan nada mengancam, agar rekomendasi segera dijalankan, atau tim sepuluh akan melaporkan kasus tersebut ke Presiden Sukarno. Soekanto, tidak menanggapi ancaman tersebut.
Ternyata masalah Soekanto belum selesai. Selang beberapa minggu surat ancaman tersebut dikirim, Soekanto mendapat telepon dari Menteri kordinator Pertahanan dan Keamanan (Menko Hankam), Jendral AH.Nasution. Pada 11 DEsember 1959 Nassution menghubungi Soekanto, dan memberitahukannya bahwa ada tujuh orang perwira Polri tengah menghadap Menko Hankam, meminta pencopotan Soekanto.
Kapolri pertama Indonesia itu lalu merspon informasi dari AH.Nasution dengan bertanya "apakah kepada mereka telah dikenakan tindakan karena indisipliner dan ditangkap?"
Jenderal Nasution yang posisinya adalah atasan Soekanto tidak menjawab pertanyaan tersebut. Soekanto kemdudian kembali bertanya,"mereka siapa saja?" dan pertanyaan itu pun langsung dijawab oleh Nassution.
Mendengar nama-nama yang dituturkan Nasution raut muka Soekanto berubah. Pasalnya beberapa nama yang disebutkan adalah Polisi yang sangat dekat dengannya, bahkan sudah dianggap anaknya sendiri. Ia tidak menyangka, dibelakang justru mereka memintanya untuk dicopot.
Masalah tersebut tidak selesai dengan pembicaraan antara Soekanto dan Nasution, Tujuh perwira yang menghadap Menko Hankam itu akhirnya menghadap ke Presiden. Laporan tersebut berujung pada pemanggilan Soekanto oleh Sukarno.
Dalam pertemuannya dengan Presiden, Soekanto dinasaehati Presiden agar ke tujuh perwira yang melapor ke Istana itu tidak diberi sanksi. Dalam pertemuan tersebut Soekanto menegaskan, bahwa ke tujuh perwira itu telah melakukan pelanggaran, dan harus diberi sanksi.
Setelah menemui Presiden, Soekanto berusaha memanggil ke tujuh perwira tersebut, namun tidak satupun yang hadir. Akhirnya pada hari itu juga surat skorsing atau penghentian sementara dikeluarkan terhadap tujuh perwira tersebut. Sehari setlah sanksi dijatuhkan kepada ke tujuh perwira, Sukarno memutuskan untuk mencopot Soekanto. Kapolri pertama Indonesia itu memaknai pencopotan itu sebagai pencopotan tidak hormat. (Nyoto)
Agu 11, 2016,
JAKARTA - Karir Raden Said (RS) Soekanto Tjokrodiatmodjo berakhir pada 15 Desember 1959 setelah Presiden Sukarno memutuskan mencopot Kapolri pertama itu.
Dengan demikian karir gemilang Soekanto selama 14 tahun membangun korps Bhayangkara dari nol, seakan sia-sia.
Dalam buku "Jenderal Polisi RS.Soekanto Tjokrodiatmodjo" dijelaskan ihwal pencopotan Soekanto berawal dari usulan sejumlah perwira Polri, yang menghendaki agar ditunjuk Kapolri baru pengganti Soekanto seiring dengan penyempurnaan tubuh Polri yang saat itu baru berumur 14 tahun.
Penyempurnaan tubuh Polri itu terkait dengan dekrit Presiden 5 Juli 1959, di mana Presiden Sukarno mengubah tubuh Polri dari Jawatan Nasional menjadi Departemen atau setingkat menteri. Dalam rangka penyempurnaan itu juga, dibentuk "Tim Sepuluh."
Salah satu rekomendasi 'Tim Sepuluh' adalah agar Kapolri mempertimbangkan nama-nama sejumlah perwira tinggi Polri untuk dijadikan pejabat teras. Namun Soekanto tidak setuju dengan usulan tersebut sebab ia sudah memiliki sejumlah nama yang sama sekali berbeda dengan rekomendasi Tim Sepuluh. Salah satu nama yang direkomendasikan Soekanto adalah Muhammad Jasin, yang kemudian dikenal sebagai bapak Brimob Polri.
Soekanto yang merupakan pemimpin tertinggi di korps Bhayangkara itu, merasa berhak untuk menolak rekomendasi tim sepuluh. Bukannya mundur, tim sepuluh justru mengirimkan surat ke Kapolri pada 23 November 1959, dengan nada mengancam, agar rekomendasi segera dijalankan, atau tim sepuluh akan melaporkan kasus tersebut ke Presiden Sukarno. Soekanto, tidak menanggapi ancaman tersebut.
Ternyata masalah Soekanto belum selesai. Selang beberapa minggu surat ancaman tersebut dikirim, Soekanto mendapat telepon dari Menteri kordinator Pertahanan dan Keamanan (Menko Hankam), Jendral AH.Nasution. Pada 11 DEsember 1959 Nassution menghubungi Soekanto, dan memberitahukannya bahwa ada tujuh orang perwira Polri tengah menghadap Menko Hankam, meminta pencopotan Soekanto.
Kapolri pertama Indonesia itu lalu merspon informasi dari AH.Nasution dengan bertanya "apakah kepada mereka telah dikenakan tindakan karena indisipliner dan ditangkap?"
Jenderal Nasution yang posisinya adalah atasan Soekanto tidak menjawab pertanyaan tersebut. Soekanto kemdudian kembali bertanya,"mereka siapa saja?" dan pertanyaan itu pun langsung dijawab oleh Nassution.
Mendengar nama-nama yang dituturkan Nasution raut muka Soekanto berubah. Pasalnya beberapa nama yang disebutkan adalah Polisi yang sangat dekat dengannya, bahkan sudah dianggap anaknya sendiri. Ia tidak menyangka, dibelakang justru mereka memintanya untuk dicopot.
Masalah tersebut tidak selesai dengan pembicaraan antara Soekanto dan Nasution, Tujuh perwira yang menghadap Menko Hankam itu akhirnya menghadap ke Presiden. Laporan tersebut berujung pada pemanggilan Soekanto oleh Sukarno.
Dalam pertemuannya dengan Presiden, Soekanto dinasaehati Presiden agar ke tujuh perwira yang melapor ke Istana itu tidak diberi sanksi. Dalam pertemuan tersebut Soekanto menegaskan, bahwa ke tujuh perwira itu telah melakukan pelanggaran, dan harus diberi sanksi.
Setelah menemui Presiden, Soekanto berusaha memanggil ke tujuh perwira tersebut, namun tidak satupun yang hadir. Akhirnya pada hari itu juga surat skorsing atau penghentian sementara dikeluarkan terhadap tujuh perwira tersebut. Sehari setlah sanksi dijatuhkan kepada ke tujuh perwira, Sukarno memutuskan untuk mencopot Soekanto. Kapolri pertama Indonesia itu memaknai pencopotan itu sebagai pencopotan tidak hormat. (Nyoto)