Radar Publik
Yogyakarta
Dr. Nina Mariani Noor, anggota Lajnah Imaillah ( Organisasi Perempuan ) Jamaah Muslim Ahmadiyah Yogyakarta, menyampaikan statemennya dalam Forum on Minority issues yang keduabelas di Kantor Persatuan Bangsa-Bangsa ( PBB) Jenewa, Swiss. Dalam sesi “Bahasa, Pendidikan dan Pemberdayaan Perempuan”, pada hari Jumat tanggal 29 November 2019, Dr. Nina menyatakan bahwa sebagai seorang warga negara Indonesia, sangat bangga karena Konstitusi Indonesia menjamin hak asasi seluruh warganya, termasuk hak pendidikan bagi perempuan. Pemerintah Indonesia menganggarkan dana 20 persen untuk pendidikan dari APBN setiap tahunnya, pendidikan formal dan informal didukung serta pendidikan bahasa lokal dan pendidikan inklusi juga digalakkan.
Selanjutnya Dr. Nina menyatakan bahwa Komunitas Muslim Ahmadiyah memberikan pendidikan informal kepada anggotanya termasuk perempuan dan anak-anak di masjid mereka. Bagi komunitas Muslim Ahmadiyah, masjid bukan hanya sebagai tempat ibadah saja, melainkan juga sebagai pusat segala aktifitas mereka termasuk memberikan pendidikan agama, kemanusiaan dan bahasa. Masjid menjadi tempat bagi para perempuan Muslim Ahmadiyah untuk beraktifitas dan berekspresi. Akan tetapi, semenjak dikeluarkannya SKB tentang Ahmadiyah tahun 2008, kekerasan dan penyerangan terhadap masjid yang dikelola Ahmadiyah meningkat, bahkan ada beberapa yang disegel oleh pemerintah daerah. Tentu saja hal ini berdampak pada pendidikan informal para perempuan ahmadiyah, tua dan muda. Bagi Dr Nina, hal tersebut sangat tidak adil bagi mereka. Bahkan ada satu masjid komunitas Muslim Ahmadiyah di Depok, Jawa Barat yang ditutup oleh pemda Kota Depok sampai tujuh kali sampai sekarang.
Dalam statemennya Dr. Nina, sebagai warga negara yang peduli dan sebagai perempuan Ahmadiyah memberikan 3 (tiga) rekomendasi kepada pemerintah Indonesia, yaitu:
Pertama: terus memperhatikan dan menyediakan pendidikan bagi seluruh warga negara Indonesia tanpa terkecuali dengan lebih memperhatikan pendidikan bagi perempuan.
Kedua, mengamandemen undang-undang atau peraturan yang diskriminatif yang bisa menjadi penyebab terjdainya kekerasan terhadap kelompok minoritas termasuk Muslim Ahmadiyah agar mereka bisa tetap bisa menyekolahkan anak-anak perempuan mereka sampai perguruan tinggi tanpa merasa takut akan keamanan mereka. Rekomendasi ini merupakan lanjutan dari rekomendasi yang diterima oleh Indonesia dalam Universal Periodic Reviewnya pada tahun 2017.
Ketiga, pemerintah Indonesia harus memastikan bahwa kedua rekomendasi tersebut di atas bisa dilaksanakan.
Dalam akhir statemennya Dr Nina menyampaikan terima kasihnya kepada OHCHR, Kantor PBB dalam Komisi Tinggi Hak Asasi karena telah memberikan kesempatan kepadanya untuk ikut berpartisipasi dalma forum tersebut.
Berbicara dalam Forum Masalah Minoritas yang kedua belas yang merupakan puncak dari program fellowship untuk Kelompok minoritas yang dilaksanakan dari tanggal 5 November sampai 4 Desember 2019, di hadiri langsung Special Rapperteur on Minority Issues, Fernandes des Verrends. Dr Nina dari Indonesia menjadi salah satu pesera dari 30 peserta lainnya dari 30 Negara.
Forum ini bertujuan menganalisa praktik, tantangan, peluang dan inisiatif dalam menangani pendidikan dan pengajaran, bahasa minoritas sebagai masalah HAM. Rekomendasi dari Forum ini akan dipresentasikan pada sesi ke 43 Dewan Hak Asasi Manusia, Maret 2020. (Zey)
Yogyakarta
Dr. Nina Mariani Noor, anggota Lajnah Imaillah ( Organisasi Perempuan ) Jamaah Muslim Ahmadiyah Yogyakarta, menyampaikan statemennya dalam Forum on Minority issues yang keduabelas di Kantor Persatuan Bangsa-Bangsa ( PBB) Jenewa, Swiss. Dalam sesi “Bahasa, Pendidikan dan Pemberdayaan Perempuan”, pada hari Jumat tanggal 29 November 2019, Dr. Nina menyatakan bahwa sebagai seorang warga negara Indonesia, sangat bangga karena Konstitusi Indonesia menjamin hak asasi seluruh warganya, termasuk hak pendidikan bagi perempuan. Pemerintah Indonesia menganggarkan dana 20 persen untuk pendidikan dari APBN setiap tahunnya, pendidikan formal dan informal didukung serta pendidikan bahasa lokal dan pendidikan inklusi juga digalakkan.
Selanjutnya Dr. Nina menyatakan bahwa Komunitas Muslim Ahmadiyah memberikan pendidikan informal kepada anggotanya termasuk perempuan dan anak-anak di masjid mereka. Bagi komunitas Muslim Ahmadiyah, masjid bukan hanya sebagai tempat ibadah saja, melainkan juga sebagai pusat segala aktifitas mereka termasuk memberikan pendidikan agama, kemanusiaan dan bahasa. Masjid menjadi tempat bagi para perempuan Muslim Ahmadiyah untuk beraktifitas dan berekspresi. Akan tetapi, semenjak dikeluarkannya SKB tentang Ahmadiyah tahun 2008, kekerasan dan penyerangan terhadap masjid yang dikelola Ahmadiyah meningkat, bahkan ada beberapa yang disegel oleh pemerintah daerah. Tentu saja hal ini berdampak pada pendidikan informal para perempuan ahmadiyah, tua dan muda. Bagi Dr Nina, hal tersebut sangat tidak adil bagi mereka. Bahkan ada satu masjid komunitas Muslim Ahmadiyah di Depok, Jawa Barat yang ditutup oleh pemda Kota Depok sampai tujuh kali sampai sekarang.
Dalam statemennya Dr. Nina, sebagai warga negara yang peduli dan sebagai perempuan Ahmadiyah memberikan 3 (tiga) rekomendasi kepada pemerintah Indonesia, yaitu:
Pertama: terus memperhatikan dan menyediakan pendidikan bagi seluruh warga negara Indonesia tanpa terkecuali dengan lebih memperhatikan pendidikan bagi perempuan.
Kedua, mengamandemen undang-undang atau peraturan yang diskriminatif yang bisa menjadi penyebab terjdainya kekerasan terhadap kelompok minoritas termasuk Muslim Ahmadiyah agar mereka bisa tetap bisa menyekolahkan anak-anak perempuan mereka sampai perguruan tinggi tanpa merasa takut akan keamanan mereka. Rekomendasi ini merupakan lanjutan dari rekomendasi yang diterima oleh Indonesia dalam Universal Periodic Reviewnya pada tahun 2017.
Ketiga, pemerintah Indonesia harus memastikan bahwa kedua rekomendasi tersebut di atas bisa dilaksanakan.
Dalam akhir statemennya Dr Nina menyampaikan terima kasihnya kepada OHCHR, Kantor PBB dalam Komisi Tinggi Hak Asasi karena telah memberikan kesempatan kepadanya untuk ikut berpartisipasi dalma forum tersebut.
Berbicara dalam Forum Masalah Minoritas yang kedua belas yang merupakan puncak dari program fellowship untuk Kelompok minoritas yang dilaksanakan dari tanggal 5 November sampai 4 Desember 2019, di hadiri langsung Special Rapperteur on Minority Issues, Fernandes des Verrends. Dr Nina dari Indonesia menjadi salah satu pesera dari 30 peserta lainnya dari 30 Negara.
Forum ini bertujuan menganalisa praktik, tantangan, peluang dan inisiatif dalam menangani pendidikan dan pengajaran, bahasa minoritas sebagai masalah HAM. Rekomendasi dari Forum ini akan dipresentasikan pada sesi ke 43 Dewan Hak Asasi Manusia, Maret 2020. (Zey)