Radar Publik
MEDAN - Dua Pembantu Rumah Tangga (PRT) asal Jawa Timur dan Kupang mengadukan nasibnya dengan di dampingi wartawan dan Paguyupan Pagar Jati, Jawa Timur untuk wilayah Sumut ke Polresta Medan di Jalan HM Said atas perlakuan penganiayaan yang dilakukan majikannya selama bekerja.
Informasi yang dihimpun, kedua PRT tersebut yaitu Fitria Ningsih (19) warga Desa Kebun Aguk, Kecamatan Sawahan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur dan Sifora Sanam (23) warga Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Menurut pengakuan Fitria Ningsih, dirinya bersama rekannya sudah bekerja selama 15 bulan di rumah majikannya yang bernama Iskandar dan Nety (istri) di jalan Yos Rizal, No. 58 Medan. Selama berkeja di rumah tersebut mendapatkan perlakuan kasar dan tidak manusiawi.
"Saya selalu di pukul dan di siksa oleh majikan tanpa sebab yang jelas, karena tidak tahan atas perlakuan tersebut akhirnya melarikan diri secara diam-diam lalu mengadu ke Polresta Medan," kata Fitri, Minggu (26/5/2013).
Dia menjelaskan, selain mendapatkan perlakuan kasar, gaji selama bekerja di rumah tersebut juga tidak diberikan majikan, apalagi kalau makan selalu diberikan mie instan dan hanya satu kali dalam sehari.
Keduanya berhasil melarikan diri setelah mengambil kunci rumah pada malam hari tanpa sepengetahuan Iskandar lalu kabur dan langsung ke Polresta Medan.
Namun saat itu, pada Jumat 24 Mei sekira pukul 23.00 WIB laporan yang disampaikan kepada polisi tidak di terima tanpa alasan yang jelas, dan akhirnya karena takut kedua korban tidur di ruang press room (masih di lingkungan Mapolresta) menunggu pagi.
"Paginya kami ketemu sama abang abang yang diketahui sebagai wartawan dan menceritakan peristiwa yang di alami, hingga akhirnya banyak wartawan datang dan mendampingi untuk membuat laporan," imbuhnya.
Akibat penganiayaan yang dilakukan Iskandar, beberapa bagian tubuh Fitria Ningsih mengalami luka memar dan lebam dibagian kepala, bahu, tangan dan kaki.
Sifora Sanam juga mengaku kerap mendapatkan penganiayaan dari Neti (istri Iskandar) saat bekerja, kadang di tampar, di tendang, dan diantukkan ke dinding, karena takut, dirinya tidak melakukan perlawanan.
"Gimana mau ngelawan, rumah kami jauh, uang gak ada, mau pulang ndak tau jalan, makanya tetap tinggal di rumah tersebut," jelasnya.
Sifora tidak tahu kemana lagi mau mengadu pasca ditolak laporannya oleh polisi yang berjaga. "Saat itu kami ditanya sama polisi yang jaga, mau kemana, kami bilang mau ngadu, dan saat ditanya kembali sama petugas apakah punya uang untuk keperluan visum, kami bilang tidak dan akhirnya laporan gak jadi di buat," cerita Sifora.
Kasus ini selanjutnya ditangani oleh Polresta Medan berdasarkan laporan nomor : Ver/ R/ 311/ V/ 2013/ SPKT Polresta Medan setelah dilakukan pendampingan oleh sejumlah wartawan dan keluarga besar Paguyupan Pagar Jati Wilayah Sumut, setelah membuat laporan keduanya menjalani visum di rumah sakit Pringadi Medan
Sementara itu, Ketua Pagar Jati Sumut Sudiono Praka yang ikut mendampingi kedua korban sangat menyesalkan perbuatan majikan kedua remaja tersebut yang melakukan penganiayaan sehingga tubuhnya Fitria Ningsih dan Sifora mengalami luka memar dan lebam.
"Saya minta kasus ini di proses hukum, dan pelaku penganiayaan segera ditangkap," pintanya.
Menurut Praka, sebagai paguyupan keluarga besar Jawa timur yang ada di Sumut pihaknya akan memulangkan kedua korban ke kampung halamannya masing masing setelah proses hukum berjalan, mungkin pemulangan akan dilakukan pada Senin mendatang, untuk saat ini kedua tinggal di rumah salah satu pengurus agar lebih aman dan psikologisnya tidak terganggu.
"Kita akan ongkosin keduanya, ini sudah tanggung jawab kami sebagai warga negara, namun sebelum dipulangkan remaja tersebut harus dilakukan pendampingan agar psikologisnya tidak terganggu," ucapnya.
Kanit UUPA Polresta Medan, AKP Haryani saat dikonfirmasi membenarkan adanya laporan tersebut dan akan melakukan proses lanjutan dengan terlebih dahulu menunggu hasil visum.
▼
Sabtu, 25 Mei 2013
Pasca Dilepaskan, Eyang Subur dan Istri Masih Tinggal Serumah
Radar Publik
Jakarta
Eyang Subur melepaskan istri-istrinya setelah dinilai MUI tidak sesuai dengan syariat Islam dengan memperistri delapan orang dalam satu waktu. Meski baru saja melepas tiga istrinya, mereka masih tinggal satu rumah.
Pengacara Subur, Ramdan Alamsyah menuturkan, proses pelepasan itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Menurutnya semua ada mekanismenya.
"Semua ada mekanismenya, baik hukum positif, maupun hukum sosial. Ini semua butuh proses, tak bisa serta merta membalikkan telapak tangan," ungkapnya saat ditemui di kediaman Subur di kawasan Jakarta Barat, Sabtu (25/5/2013).
Dalam jumpa pers itu, Ramdan juga menuturkan pelepasan itu dilakukan karena fatwa MUI. Ia pun yakin Subur akan bertanggung jawab, terlebih kepada anak-anaknya.
"Mereka dipisahkan dalam konteks fatwa. Konteks perasaan, mereka masih saling memiliki. Yang namanya anak juga harus perlu dipikirkan, bagaimana pendidikannya," tutur Ramdan.(Kresna)
Jakarta
Eyang Subur melepaskan istri-istrinya setelah dinilai MUI tidak sesuai dengan syariat Islam dengan memperistri delapan orang dalam satu waktu. Meski baru saja melepas tiga istrinya, mereka masih tinggal satu rumah.
Pengacara Subur, Ramdan Alamsyah menuturkan, proses pelepasan itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Menurutnya semua ada mekanismenya.
"Semua ada mekanismenya, baik hukum positif, maupun hukum sosial. Ini semua butuh proses, tak bisa serta merta membalikkan telapak tangan," ungkapnya saat ditemui di kediaman Subur di kawasan Jakarta Barat, Sabtu (25/5/2013).
Dalam jumpa pers itu, Ramdan juga menuturkan pelepasan itu dilakukan karena fatwa MUI. Ia pun yakin Subur akan bertanggung jawab, terlebih kepada anak-anaknya.
"Mereka dipisahkan dalam konteks fatwa. Konteks perasaan, mereka masih saling memiliki. Yang namanya anak juga harus perlu dipikirkan, bagaimana pendidikannya," tutur Ramdan.(Kresna)
Politikus PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari menyesalkan lambannya Polri menangani kasus Anggota Polres Mojokerto, Briptu Rany Indah Yuni Negraeni.
Radar Publik
Jakarta-
Seharusnya, kata dia, Polri tangkas menangani dua kasus yang menimpa Briptu Rany agar tidak semakin memperburuk citra polisi.
Apalagi, lanjut dia, menghilangnya Briptu Rany setelah foto-foto syurnya beredar di media yang diduga dilakukan oleh atasannya.
“Saya berharap Mabes mendayagunakan unit khusus berkaitan dengan gender untuk memproses ini. Agak berat, saya sudah mempelajari banyak kasus serupa hilang karena male dominated institution dan korban cenderung malas karena tidak mendapat dukungan,” kata Eva saat dihubungi Radar Publik, Sabtu (25/5/2013).
Dia berharap Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) juga melakukan pengawasan khusus terkait kasus pelecehan seksual di institusi kepolisian. “Sebagai penguat, Kompolnas bisa juga melakukan pengawasan khusus terhadap kasus pelecehan seksual ini,” jelas dia.
Dia berharap penegakkan hukum tidak diskriminatif dan tebang pilih karena berdampak ketidakpercayaan masyarakat terhadap Polri. “Saya juga berharap ada keseriusan dari Mabes Polri untuk menuntaskan kasus-kasus pidana pelecehan seksual oleh internal Polri yang seperti umumnya merupakan kejahatan tersembunyi (
silence crime) dan cenderung ditaruh di bawah karpet,” imbuhnya.
“Ini memprihatinkan karena sebagai lembaga negara yang harus respect, protect, fulfill HAM rakyat (perempuan), Polri harus menunjukkan kinerja yang baik di internal lembaganya,” pungkansya.(red)
Jakarta-
Seharusnya, kata dia, Polri tangkas menangani dua kasus yang menimpa Briptu Rany agar tidak semakin memperburuk citra polisi.
Apalagi, lanjut dia, menghilangnya Briptu Rany setelah foto-foto syurnya beredar di media yang diduga dilakukan oleh atasannya.
“Saya berharap Mabes mendayagunakan unit khusus berkaitan dengan gender untuk memproses ini. Agak berat, saya sudah mempelajari banyak kasus serupa hilang karena male dominated institution dan korban cenderung malas karena tidak mendapat dukungan,” kata Eva saat dihubungi Radar Publik, Sabtu (25/5/2013).
Dia berharap Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) juga melakukan pengawasan khusus terkait kasus pelecehan seksual di institusi kepolisian. “Sebagai penguat, Kompolnas bisa juga melakukan pengawasan khusus terhadap kasus pelecehan seksual ini,” jelas dia.
Dia berharap penegakkan hukum tidak diskriminatif dan tebang pilih karena berdampak ketidakpercayaan masyarakat terhadap Polri. “Saya juga berharap ada keseriusan dari Mabes Polri untuk menuntaskan kasus-kasus pidana pelecehan seksual oleh internal Polri yang seperti umumnya merupakan kejahatan tersembunyi (
silence crime) dan cenderung ditaruh di bawah karpet,” imbuhnya.
“Ini memprihatinkan karena sebagai lembaga negara yang harus respect, protect, fulfill HAM rakyat (perempuan), Polri harus menunjukkan kinerja yang baik di internal lembaganya,” pungkansya.(red)