Minggu, 05 Juli 2020

KK AKTA KELAHIRAN SERTA AKTA NIKAH SUDAH BISA DICETAK DI KERTAS HVS

Radar Publik
Jabar

Kecuali e-KTP dan Kartu Identitas Anak (KIA), seluruh dokumen kependudukan bisa dicetak di kertas HVS biasa. Dokumen itu antara lain akta kelahiran, kartu keluarga (KK), akta kematian, akta nikah dan dokumen lain.

"Sesuai dengan Permendagri No. 109 Tahun 2019 mulai 1 Juli 2020 seluruh dokumen kependudukan minus KTP-el dan KIA wajib dicetak dengan menggunakan kertas HVS. Tidak boleh lagi menggunakan kertas sekuritas," kata Direktur Jenderal (Dirjen) Kependudukan dan Pencatatan (Dukcapil) Zudan Arif Fakrullah melalui pesan singkatnya, Jumat (3/7/2020).

Dia mengatakan hal tersebut bisa dilakukan karena adanya digitalisasi layanan administrasi kependudukan (adminduk) dan tanda tangan elektronik (TTE).

"Dokumen yang dicetak dengan kertas HVS 80 gram itu dijamin keabsahan. Termasuk keamanannya serta mudah dicek dokumen tersebut asli atau palsu," katanya

Dia mengatakan bahwa cara menguji keaslian dokumen di kertas HVS tersebut menggunakan QR code. Bahkan bisa dilakukan dengan smartphone.

"Cara mengujinya dengan memindai QR code pada dokumen dengan QR scanner di smartphone. Atau bisa dengan aplikasi QR code reading yang bisa diunduh di playstore," tuturnya.

Dia menuturkan bahwa kode QR pada dokumen kependudukan yang dicetak di kertas HVS ini merupakan tanda tangan elektronik. Kode QR ini sebagai pengganti tanda tangan dan cap basah yang dulu dicetak dengan security printing.

Sebelumnya, Kartu Keluarga, Akta Kelahiran, dan Akta Kematian dicetak menggunakan kertas khusus security printing berhologram dari Dukcapil. Dengan perubahan ini dipastikan menghemat anggaran miliaran.

"Dengan perubahan penggunaan kertas biasa ini, tak perlu lagi pengadaan kertas berhologram. Sehingga negara bisa berhemat anggaran hingga Rp450 miliar di tahun 2020," pungkasnya. (Abdul) 

DIDUGA ALIH-ALIH CORONA EKONOMI. BERKURANG CINTA HILANG DI PREDIKSI JANDA BERTAMBAH

Radar Publik
Jabar

Jumlah janda saat pandemi Corona naik. Di pengadilan agama (PA), jumlah pasangan suami istri (pasutri) yang cerai terus meningkat.

Faktor perceraian umumnya karena ekonomi. Sebut saja Bunga. Emak satu anak asal Bandung, Jawa Barat ini mengaku, dia cerai dengan suaminya pada Juni 2020. Kata dia, sang suami sejak bulan Februari sudah tidak memberikan nafkah lagi.

"Kena PHK dan di rumah selalu marah-marah. Kami ribut terus, hingga akhirnya saya diceraikan," ungkapnya saat ditemui wartawan di kawasan Bandung, Jawa Barat, Sabtu (4/7) malam.

Walau hidup sebagai janda tapi Bunga mengaku tetap sabar dan tabah. "Untuk hidup ya saya jualan kue. Tapi saya yakin kok masih laku, kan saya masih bahenol lah," ucapnya sambil tertawa.

Pengadilan Agama (PA) Kabupaten Garut mencatat sejak awal tahun 2020 hingga bulan Juni, angka perceraian pasutri yang ditangani PA Garut sudah hampir mencapai 3 ribu kasus.

Istri yang cerai dengan suaminya rata-rata berumur 25-40 tahun. Perceraian dominan disebabkan faktor ekonomi. Alasan ekonomi kerap membuat pasutri di Garut bertengkar hingga akhirnya cerai.

Bukan hanya Garut, Bandung dan Cianjur angka perceraian juga naik. Hal ini disebabkan dampak dari virus yang pertama kali muncul di Wuhan, China pada Desember 2019.

Di Kota Bandung, di mana diketahui jumlah janda meningkat tajam. Tak hanya itu, tingkat perselingkuhan pun lebih tinggi dibanding sebelumnya.

Setidaknya, ada sebanyak 1.355 wanita menjadi janda baru. Angka itu adalah perkara gugatan cerai yang udah diputuskan oleh Pengadilan Agama Bandung.

Sejak wabah Covid-19 dari bulan Maret hingga pertengahan Juni 2020, tercatat ada 1.449 gugatan perceraian yang masuk ke Pengadilan Agama Bandung.

Ketua Pengadilan Agama Bandung, Acep Saifuddin mengatakan, rata-rata perceraian dipicu perselisihan atau percekcokan karena masalah ekonomi dan perselingkuhan. Dan pasangan yang mengajukan perceraian pun datang dari berbagai kalangan, mulai dari wiraswasta hingga aparatur sipil negara (ASN). (Abdul)