▼
Rabu, 19 Februari 2014
KPK : Walaupun Dengan Sebelah Kaki Tetap Berjalan
Radar Publik
JAKARTA — Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad menyatakan, konsentrasi lembaganya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi tidak akan terpecah meskipun ada upaya dari pihak-pihak tertentu untuk melemahkan KPK, di antaranya melalui sejumlah poin dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Kita tetap berjalan on the track (dalam jalurnya). Kalau ada orang berkepentingan untuk memotong sebelah kaki KPK sehingga KPK lari tertatih, Insya Allah kita tetap berjalan dengan sebelah kaki," kata Abraham dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Rabu (19/2/2014) malam.
Hadir pula dalam jumpa pers tersebut Wakil Ketua KPK Zulkarnain dan Juru Bicara KPK Johan Budi. Abraham meminta masyarakat untuk tidak khawatir upaya pemberantasan korupsi oleh KPK akan mandek jika RUU KUHP dan KUHAP itu disahkan DPR nantinya.
"Posisi KPK selain mempersoalkan RUU ini, kita tetap konsisten, tugas pokok kita, yaitu pemberantasan korupsi, penyelidikan, penyidikan, proses sampai pengadilan, kita tidak terpecah karena sudah ada bagian-bagian yang didistribusikan untuk menangani unit-unit tertentu. Tidak usah khawatir upaya bongkar korupsi tidak berjalan," tuturnya.
Terkait penolakan atas pembahasan RUU KUHP dan KUHAP ini, KPK telah mengirimkan surat kepada Presiden, pimpinan DPR, dan ketua panitia kerja (panja) pembahasan RUU KUHP/KUHAP di DPR. Dalam surat tersebut, KPK merekomendasikan empat hal, yakni penundaan pembahasan dua RUU tersebut, mengeluarkan delik korupsi dan delik kejahatan luar biasa lainnya dalam RUU KUHP sehingga delik korupsi diatur dalam undang-undang tersendiri yang
lex specialis, mendahulukan pembahasan RUU KUHP sebagai hukum materiil sebelum membahas RUU KUHAP yang merupakan hukum formal, dan memberikan masa transisi tiga tahun untuk pemberlakuan RUU tersebut nantinya.
Abraham juga mengatakan, KPK akan mempersilakan DPR dan pemerintah melanjutkan pembahasan dua RUU ini seandainya delik korupsi tidak dimasukkan dalam RUU KUHP. KPK, lanjut Abraham, baru mengetahui kalau delik korupsi dileburkan dalam RUU KUHP sekitar April 2013.
"Seandainya tipikor tidak dimasukkan, kita persilakan DPR dan pemerintah melanjutkan pembahasan undang-undang ini, tapi karena dimasukkan, kita ingin beri pemahaman kepada pemerintah dan DPR, ada potensi bahaya kalau tetap dilanjutkan ini, makanya kita minta ditunda, kalau mau lanjut sebaiknya delik korupsi dikeluarkan," tutur Abraham.
Kini, menurut Abraham, KPK tinggal menunggu respons pemerintah dan DPR atas rekomendasi yang disampaikan KPK melalui surat tersebut. Jika pembahasan RUU KUHP dan KUHAP tetap dilanjutkan, katanya, hal ini berarti pemerintah dan DPR tidak memiliki
political will dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
"Di sini kita bisa menilai pemerintah dan DPR. Kalau misalnya pemerintah dan DPR tetap
ngotot membahas, maka itu bisa kita artikan pemerintah dan DPR tidak punya
political will dalam pemeberantasan korupsi," ucap Abraham.
Senada dengan Abraham, Zulkarnain menyatakan, dimasukkannya delik korupsi ke dalam KUHP merupakan suatu kemunduran. Pasalnya, sebelum ini delik korupsi sengaja dikeluarkan dari KUHP karena dianggap sebagai tindak pidana luar biasa.
"Dulu bagian tindak pidana korupsi dari KUHP dikeluarkan menjadi tindak pidana khusus, jadi tipikor seperti suap-menyuap dan lain-lain, hukuman diperberat, cakupan diperluas, pembuktian diperkuat, ada pembuktian terbalik dan terbatas, kalau dikembalikan ke KUHP berarti mundur dari sisi perundangan," tutur Zulkarnain.
Apalagi, lanjutnya, saat ini tindak pidana korupsi di Indonesia berkembang masif. Hal itu, katanya, bisa dilihat dari perkara-perkara yang ditangani KPK dengan modus yang semakin canggih dan nekat.
Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:
Kontroversi RUU KUHAP/KUHP
(Nyoto)