Radar Publik Minggu (3/11/2013)
WARGA Porong dan sekitarnya punya istilah khas, TPI. Bukan Televisi Pendidikan Indonesia, melainkan TANGKIS PORONG INDAH. Ini tempat mangkal ratusan lonte di tangkis (tanggul) Kali Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. ‘Keindahan’ tangkis itu bisa disaksikan setiap malam. Tangkis yang siangnya panas terik dan sepi, malam hari sangat meriah.
Di sini tak ada rumah bordil yang khusus menyediakan kamar berikut lontenya. Di sini semua serba darurat. Usai matahari terbenam para ‘pengusaha’ bikin kamar-kamar begituan. Sedikitnya ada 60 kamar.
“Ada semacam panitia atau pemilik. Rangkanya sudah ada, sehingga malam tinggal pasang. Bikinnya gampang sekali, dan ini sudah berlangsung bertahun-tahun,” ujar Eko, warga Porong.
Pengelola kompleks TPI menyiapkan dua tiga wadah berisi air bersih di depan kamar 2 x 1 meter itu. Tujuannya, apalagi kalau bukan untuk membersihkan organ intim si lonte dan tamunya usai berhubungan badan.
Fasilitas ini, rata-rata sudah kelar pada pukul 19:00. Begitu gelap merambat, di jalan setapak persis di tangkis Porong warung-warung kopi, teh, dan camilan pun buka. Diterangi lampu minyak tanah, karena tidak ada listrik kawasan itu tampak hidup. Lalu lonte mulai berdatangan satu demi satu. Ada yang naik angkot, becak, bahkan diantar teman atau pacarnya.
“PSK di Porong ini banyak yang muda dan cantik-cantik. Nggak begitu menor. Kalau naik angkot orang sering nggak curiga karena penampilannya biasa-biasa saja,” tambah Bambang, warga Gempol, Pasuruan. Kompleks TPI persis di perbatasan Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Pasuruan.
IYEM, nama samaran, usia 30-an, mengaku kerja di pabrik sepatu Surabaya. Baru sepekan ia cari uang di TPI karena diajak kakaknya. Kebetulan sang kakak, juga buruh pabrik, sudah lebih dulu mengais rezeki di pinggir Sungai Porong itu.
“Kerja di pabrik sepatu saya dibayar Rp 200 ribu per minggu. Saya sekarang banyak utang sehingga terpaksa kerja di sini. Mau bagaimana lagi?” ujar Sariyem.
Malam itu Iyem mengaku belum mendapat satu pun tamu. Tarif sekali kencan di TPI Rp 30 ribu. Jika tamunya baik hati, biasanya ada tips atau tambahan uang rokok. Lain lagi Bu Sri, 60-an tahun, yang kos di Porong.
Dia mengaku baru empat malam praktik di TPI. Sehari-hari Sri yang sudah nenek-nenek ini menjadi pedagang keliling di Porong dan sekitarnya. Entah dapat bisikan dari mana, Sri mengaku ingin cari uang di TPI. “Buat nambah-nambah, Mas. Namanya juga cari rezeki,” ujarnya dalam bahasa Jawa halus.
SEKITAR 80-100 lonte yang praktik di TPI rata-rata berusia di bawah 40 tahun. Sosok Bu Sri ini jelas terlampau tua untuk menjual diri. Apa yang mau ‘dijual’ untuk wanita sepuh? Bu Sri mengaku sangat sadar.
“Sejak empat hari saya sama sekali tidak dapat tamu,” katanya. “Besok pagi, ya, saya jualan lagi. Saya ini sebetulnya malu duduk di sini, tapi...,” ujar Bu Sri.
Begitulah. Di tangkis Sungai Porong sepanjang hampir 200 meter itu berjajar lonte dari beberapa segmen. Segmen pertama, paling timur (dekat jalan raya) dihuni lonte tua macam Bu Sri. Segmen ini paling gelap dan paling sepi.
Segmen kedua, sebelah timur Bu Sri cs, mulai agak ramai, dihuni lonte setengah tua. Lumayan ramai, tingkah polahnya lebih agresif dan norak. Menurut beberapa warga, kalau ada razia oleh Satpol PP dan polisi biasanya mereka pertama kali sering diciduk.
Segmen ketiga di bagian tengah. Bagian ini paling ramai, menjadi tempat mangkal ratusan tamu dan lonte. Bisa dimengerti karena lonte di segmen ketiga (tengah) ini muda dan cantik. Di tangan mereka ada ponsel, senang main games ponsel, atau SMS ngalor-ngidul.
Dandanan mereka tidak norak. Busananya mirip artis dangdut, sehingga menyedot perhatian tamu. Banyak laki-laki yang tahan begadang hanya untuk menemani para lonte muda itu.
“Mereka banyak yang dari Tretes. Gayanya juga nggak malu-maluin,” ujar seorang penjaga warung. Meski segmen tengah ini sangat padat, suasana tetap tenang. (PEMRED: NYOTO NH)