Jumat, 19 Juli 2013

9 Saksi Diperiksa Polisi Terkait Pembakaran Rumah Bupati Lumajang

Radar Publik
Lumajang - Pascapembakaran rumah pribadi Bupati Lumajang Sjahrazad Masdar, polisi sudah memeriksa 9 saksi. Polisi juga menerjunkan tim khusus gabungan untuk mengungkap motif pembakaran tersebut.

"Saksi yang diperiksa di hari pertama kejadian kemarin kan 3 orang telah diperiksa. Hari ini, diagendakan 6 orang saksi lain diperiksa," kata Kapolres Lumajang AKBP Singgamata ketika dikonfirmasi Radar Publik, Sabtu (20/7/2013).

Dia mengaku, saksi-saksi itu diperiksa untuk menghimpun keterangan awal terjadinya insiden pembakaran, Kamis (18/7/2013) dini hari.

"Kami juga melibatkan labfor untuk menyelidiki secara ilmiah. Semuanya masih kami gali informasinya terlebih dulu. Kami mencari dan menyelidiki dugaan-dugaan motif apa di balik aksi pembakaran tersebut," ujar perwira menengah (Pamen) asal Padang, Sumatera Barat tersebut.

Soal indikasi apakah peristiwa ini terkait dengan pelaksanaan Pilkada Kabupaten Lumajang, Kapolres Lumajang AKBP Singgamata juga enggan mengomentari lebih jauh.

Sementara itu dari pantauan Radar Publik, banyak warga melihat langsung rumah pribadi Bupati Lumajang Sjahrazad Masdar di JL Mahakam 145 Kelurahan Jogotrunan Kecamatan Kota, Lumajang, dibakar orang tak dikenal. Mereka tampak datang silih berganti untuk melihat bekas-bekas kebakaran jelas di bagian pintu dan dinding depan yang belum dibersihkan. (Kresna)

KPK Berwenang Usut Pencucian Uang yang Terjadi Setelah 2002 Eks Ketua PPATK Yunus Husein mendukung jaksa KPK yang mendakwa Irjen Djoko Susilo dengan pasal pencucian uang mulai tahun 2003.

Radar Publik
JAKARTA -
Eks Ketua PPATK Yunus Husein mendukung jaksa KPK yang mendakwa Irjen Djoko Susilo dengan pasal pencucian uang mulai tahun 2003. Menurut Yunus lembaga antikorupsi tersebut memang berwenang mengusut pencucian uang dalam kurun waktu tersebut.

"Ya tetap bisa. Pokoknya bisa sejak 2002, pertama kali ada undang-undang pencucian uang," ujar Yunus di PN Tipikor Jakarta Kamis (19/7/2013).

Menurut Yunus, penyidik KPK juga memiliki kewenangan untuk mengusut pencucian uang. Begitu juga dengan jaksa KPK untuk menuntutnya.

"Penyidik dan jaksa KPK berwenang," kata Yunus.

Tindak pidana pencucian uang yang didakwa kepada Irjen Djoko Susilo bukan hanya saat dia menjabat sebagai Kakorlontas Mabes Polri. Jaksa juga mendakwa tindak pidana pencucian uang untuk Djoko sejak dia menjabat sebagai Kapolres Bekasi.

Dalam surat dakwaan, jaksa menyertakan SK Kapolri yang mengangkat Djoko sebagai Kapolres Bekasi pada 29 Maret 2001. Selang dua tahun kemudian, 2 September 2003, Djoko dipindahkan sebagai Kapolres Jakarta Utara.

Perjalanan karir Djoko selanjutnya berturut-turut adalah Dirlantas Polda Metro, Wadir Lantas Babinkam, Dirlantas Babinkam, Kakorlantas dan terakhir sebagai Gubernur Akpol.

Mulai tahun 2003 hingga sebelum menjabat sebagai Kakorlantas, penghasilan dan ULP yang diterima Djoko berjumlah sekitar Rp 407,04 juta.

Lewat nama istri keduanya, Mahdiana, Djoko membeli sejumlah tanah. Djoko juga pernah membeli sebuah SPBU dan menggunakan kepemilikannya atas nama Eva Handayani.

Ada yang menarik dari nama Eva. Awalnya di Kartu Keluarga, Eva merupakan anak dari Djoko dan istri pertamanya Suratmi.

Namun berdasarkan akta lahir keluaran Madiun pada tahun 1992, Eva merupakan anak dari Sukarno Hadi Wiyono dan Titiek Roem Soeharti. Tapi di tahun 1989, Pemkot Madiun ternyata pernah juga merilis Eva sebagai anak dari pasangan Soekarni dan Sunarti.

19 Oktober 2008, Djoko juga membeli satuan kondotel lantai 3, unit 331 degan harga 60 ribu USD di Swiss Bellhotel Segara Nusa Dua Bali.

Harta kekayaan yang dimiliki Djoko sejak 2003 hingga Maret 2010 mencapai Rp 53,894 miliar dan USD 60 ribu. (Kresna)